Laman

Jumat, 29 November 2013

Pelapisan Sosial Masyarakat


           
 Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata social. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

 Terjadinya Pelapisan Sosial terbagi menjadi 2, yaitu:

1.      Terjadi dengan Sendirinya
            Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu, tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Oleh karena itu sifat yang tanpa disengaja inilah yang membentuk lapisan dan dasar dari pada pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu, dan kebudayaan masyarakat dimana sistem itu berlaku.


2.      Terjadi dengan Sengaja
            Sistem pelapisan ini dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama. Dalam sistem ini ditentukan secara jelas dan tegas adanya kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang.
Didalam sistem organisasi yang disusun dengan cara sengaja, mengandung 2 sistem, yaitu:


a.      Sistem Fungsional, merupakan pembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya berdampingan dan harus bekerja sama dalam kedudukan yang sederajat.

b.      Sistem Skalar, merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga atau jenjang dari bawah ke atas ( Vertikal ).
study kasus :
pelapisan sosial pada kaum ningrat dengan kaum awam.
Kaum ningrat tidak di perbolehkan berhubungan dengan kaum awam dikarenakan perbedaan sosial.


Contoh yang saya ambil dalam tulisan ini yaitu Stratifikasi masyarakat di Aceh.

1. Dasar-dasar stratifikasi social Aceh
Dalam suatu masyarakat akan terdapat golongan paling atas yang disebut dengan lapisan elit. Dan lapisan paling bawah disebut dengan lapisan biasa atau orang kebanyakan. Antara lapisan atasan dan lapisan bawahan kadang-kadang terdapat lagi beberapa lapisan seperti yang terdapat pada masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh pada zaman kerajaan dahulu dapat dibagi ke dalam:
  1. Lapisan Raja
  2. Lapisan Ulee Balang
  3. Lapisan Ulama
  4. Lapisan Rakyat biasa



Lapisan Raja berasal dari keturunan raja-raja yang memegang kekuasaan kerajaan. Raja dan keturunannya dianggap sebagai lapisan elit. Maka lapisan raja dihormati karena kekuasaan dan keturunan-keturunan mereka. Hingga sekarang penghormatan masyarakat kepada keturunan raja-raja masih tampak dalam pergaulan hidup sehari-hari seperti mengenai panggilan. Panggilan yang lazim kepada keturunan raja dalam kehidupan sehari-hari disebut ampon, bila laki-laki, dan cut nyak (cut) bila perempuan. Walaupun perbedaan-perbedaan yang lain tidak tampak lagi antara keturunan raja dengan orang biasa.
Di bawah lapisan raja, terdapat lapisan Ulee balang, sebagai wakil raja untuk daerah-daerah kerajaan kecil. Maka, kadang-kadang untuk seorang ulee balang disebut juga dengan ulee balang cut. Di samping lapisan itu terdapat juga lapisan yang menentukan dalam bidang agama. Maka pada tiap-tiap kerajaan munculah golongan ulama. Dan lapisan yang paling bawah adalah lapisan rakyat biasa.
Sesungguhnya pada masyarakat Gayo tidak ada dasar pelapisan yang tegas. Karena itu dasar pelapisannya cepat bergeser. Sebagai dasar utama dari pelapisan sosial dalam masyarakat Gayo adalah senioritas dalam umur. Pihak yang usianya lebih tua lebih mendapat status yang tinggi dalam masyarakat Gayo. Selain daripada usia yang tua itu, juga orang yang dituakan. Seseorang dapat dituakan karena statusnya akibat perkawinan. Memang pada akhirnya dasar stratifikasi sosial ini telah mengalami perubahan-perubahan.
Pada masyarakat Aceh Tamiang zaman kerajaan dahulu, dasar-dasar stratifikasi sosial dapat dibagi ke dalam:
  1. Lapisan raja
  2. Lapisan datuk empat suku.
  3. Lapisan khadli dan Imam.
  4. Lapisan datuk delapan suku.
  5. Lapisan rakyat biasa.

2. Perubahan-perubahan dalam Stratifikasi Sosial Aceh
Pada zaman kemerdekaan dasar-dasar stratifikasi sosial masyarakat Aceh pada umumnya seperti di atas tadi, sudah mulai berubah. Namun lapisan-lapisan tersebut masih tampak dalam masyarakat, tetapi lapisan-lapisan tersebut tidak memperlihatkan lagi perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan sehari-hari. Susunan golongan-golongan yang memerintah sudah banyak berubah. Sudah ada orang-orang dari lapisan lain yang menduduki fungsi pemerintahan, mulai dari susunan pemerintahan paling bawah sampai kepada pemerintahan atasan seperti Kecik, Kepala mukim dan Camat kepala pemerintahan Kecamatan.
Dahulu untuk memilih susunan penjabat pemerintahan tersebut, harus dilihat dari keturunan secara turun-temurun, dan berikutnya mengenai kecakapan. Dengan perkembangan beberapa Perguruan Tinggi di Aceh seperti Universitas Syiah Kuala, IAIN Jamuah Arraniry, APDN, dan beberapa perguruan tinggi swasta, maka semakin mendorong proses perubahan stratifikasi sosial di Aceh. Banyak pimpinan-pimpinan pemerintahan tingkat kabupaten telah menjabat Bupati yang bertitel kesarjanaan dari perguruan-perguruan tinggi tersebut di atas.
Begitu pula Camat Kepala Pemerintahan Kecamatan, hampir semua bertitel sarjana muda dari APDN. Jabatan Mukim dan Kecik sudah banyak dijabat oleh orang-orang yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mengatur dan memerintah. Tidak lagi berpola kepada keturunan secara turun-temurun. Proses perubahan di atas mendorong rakyat untuk berlombalomba memasukkan anaknya ke Perguruan Tinggi tersebut di atas, agar dapat menduduki fungsi tertentu dalam pemerintahan. Seirama dengan itu pendidikan non formal yang sudah lama dibina seperti pesantren-pesantren, sekarang sudah banyak yang kosong.
Karena tamatan dari Pesantren, tidak banyak memberikan arti terhadap status sosial dewasa ini. Dari proses perubahan stratifikasi sosial di atas, maka dewasa ini masyarakat Aceh pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu:
a. Kelompok penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan, dan pegawai negeri
b. Kelompok Ulama, orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama.
c. Kelompok kekayaan (hartawan).
d. Kelompok rakyat.

Keempat kelompok masyarakat tersebut, tampaknya tidak memberikan batas-batas yang tajam. Antara suatu kelompok dengan mudah dapat memasuki kelompok yang lain. Timbulnya kelompok-kelompok itu, tampaknya dari hasil kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan mudah dapat masuk ke dalam kelompok penguasa. Atau seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi bagian dari kelompok Ulama.
Kelompok kekayaan dan kelompok rakyat biasanya dengan mudah beralih ke dalam kedua kelompok tersebut di atas, andaikata telah memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang cukup. Tetapi dewasa ini tampaknya kelompok kekayaan lebih mudah beralih ke dalam kelompok-kelompok lain. Karena bagi kelompok ini mempunyai kemampuan yang besar untuk menyekolahkan anaknya. Tetapi bagi rakyat biasa, ulama dan sebagian pegawai negeri kesempatan menyekolahkan anaknya banyak terbentur dari segi keuangan.
Dengan demikian pada suatu saat kelompok kekayaan akan menjadi kelompok penguasa. Pada masyarakat Gayo dasar untuk menentukan adanya pelapisan sudah berubah-rubah dalam tempo yang relatif cepat. Pernah pihak yang dipandang tinggi dalam masyarakat adalah orang yang mendapat kedudukan menurut adat. Pada masa yang lain atas dasar pengetahuan dalam agama, pengetahuan sekuler, kekayaan, kejujuran dan lain-lain. Namun dasar utama yaitu senioritas dalam usia selalu masih terlihat.


Sekian ,semoga bermanfaat.


Sumber  :
(http://anwarabdi.wordpress.com/2013/05/04/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat/)
(http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1241/stratifikasi-sosial-masyarakat-aceh)




Warga Negara dan Asal Muasal Negara Korea

Korea merupakan negara besar yang akhir akhir ini sangat populer dikarenakan kebudayaan dan karya karya yang dibuat di negara tersebut.Bahkan banyak warga negara kita yang sangat mengagumi negara tersebut baik dari segi kebudayaan , seni , makanan , sampai warga negaranya.Namun,tahukah kalian tentang hal hal yang menyangkut warga negara dan asal muasalnya ?
Dalam postingan kali ini akan dibahas sedikit dari hal hal yang menyangkut tentang warga negara korea semoga bermanfaat.


Warga Korea

Bangsa Tunggal

Republik Korea merupakan negara bangsa tunggal. Akhir-akhir ini jumlah orang asing yang tinggal di Korea semakin meningkat, maka memperlihatkan kecenderungan untuk menjadi negara multibangsa, namun Korea secara dasarnya bersifat kuat sebagai negara bangsa tunggal. Meskipun demikian, bangsa Korea tidak eksklusif, tetapi berusaha aktif menerima warga asing.


Bangsa Korea

Definisi

Bangsa Korea menunjuk bangsa yang memakai bahasa Korea dan hidup di bagian timur Manchuria, yaitu semenanjung Korea. Bangsa Korea tergolong ras kulit kuning dan bahasa Korea tergolong dalam rumpun bahasa Altaik.


Asal-muasal

Salah satu suku Ye Maek diantara suku Tungusik di masa kuno di wilayah Asia, berkembang menjadi bangsa Korea. Suku Ye Maek maju ke bagian timur dari daratan di zaman Batu Baru, kemudian bermukim di kawasan berbukit semenanjung Korea dan bagian timur Sungai Amur. Menurut catatan Cina, bangsa Korea dicatat dengan 'Dongi'. Sebagai suku totem yang memuja beruang, bangsa Korea bekerja di bidang pertanian dan perburuan, namun makin lama makin mapan sebagai bangsa pertanian. Negara pertama adalah Kojosun yang didirikan oleh Dangun.


Penduduk (Dihitung tidak resmi di tahun 2003)

Jumlah Seluruh Penduduk : 75 juta 450 ribu orang
Jumlah Penduduk di Korea Selatan : 48 juta 50 ribu orang
Jumlah Penduduk di Korea Utara : 22 juta 400 ribu orang
Jumlah Penduduk di Luar Negeri : kurang-lebih 5 juta orang
Perubahan Jumlah Penduduk (data: hasil sensus Direktorat Jendral Statistik Nasional Korea, unit = seribu orang)




Warga Emigran

Konsep Bangsa Tunggal Yang Semakin Berubah

Setelah jumlah emigran sekarang ini meningkat, istilah 'bangsa tunggal' juga berubah dari makna yang tertutup di masa kuno, menjadi makna yang terbuka di masa modern. Dengan kata lain, konsep bangsa tunggal di Korea bermakna menjadi harmonis sambil hidup bersama tanpa perbedaan warna kulit, dan negara asal.


Emigran setelah Menikah dan Tenaga Kerja Asing
Para emigran terdiri dari warga yang menikah dengan warga Korea dan tenaga kerja asing. Mereka yang datang ke Korea untuk mewujudkan 'Korean Dream', semakin mapan sebagai unsur pokok masyarakat Korea setelah bekerja dan membentuk keluarga baru. Menurut Direktorat Jendral Statistik Nasional Korea, 39 ribu 700 warga Korea menikah dengan warga asing di tahun 2006 dan menempati 11,9% dari seluruh pernikahan di Korea.
Jumlah Orang Asing yang Tercatat (unit = orang)*


* Jumlah warga asing yang tinggal di Korea di tahun 2007 melebihi satu juta orang termasuk orang yang belum dicatat, dan sekitar 20% diantaranya diramalkan orang yang tinggal secara ilegal di Korea.


Jumlah penduduk Korea mengalami peningkatan per tahun rata-rata sejumlah 3 persen sepanjang dekade 1960-an, namun jumlah ini menurun hingga 2 persen pada dekade selanjutnya. Pada tahun 2005 tingkat pertumbuhan penduduk berada pada titik 0,21 persen dan diperkirakan akan terus menurun hingga 0,02 persen pada tahun 2020. Pada tahun 1960-an, pembagian jumlah penduduk Korea membentuk sebuah piramida, dengan tingkat kelahiran yang tinggi serta angka harapan hidup yang relatif pendek.
Akan tetapi, pembagian berdasarkan usia kini memiliki bentuk mirip sebuah lonceng, yang disebabkan oleh rata-rata kelahiran yang rendah serta angka harapan hidup yang semakin panjang. Mereka yang berusia 15 tahun atau kurang dari itu akan menjadi bagian dari jumlah penduduk yang menurun, sedangkan warga usia lanjut (65 tahun atau lebih) akan berjumlah kira-kira 15,7 persen dari total jumlah penduduk pada tahun 2020.
Proses industrialisasi dan urbanisasi Korea yang sangat cepat pada era 1960-an dan 1970-an telah diikuti oleh proses perpindahan penduduk terus-menerus dari desa ke kota-kota besar, terutama Seoul, yang berakibat pada tingginya jumlah penduduk di wilayahwilayah metropolitan. Namun, pada tahun-tahun terakhir ini semakin banyak jumlah warga Seoul yang berpindah ke daerah-daerah pinggiran kota.
Jumlah warga negara asing di Korea –termasuk warga asing yang tinggal hanya untuk jangka pendek –mencapai 1.000.254 jiwa, melebihi jumlah satu juta jiwa untuk pertama kalinya pada tanggal 24 Agustus 2007. Prosentasi jumlah warga asing ini mencapai 2 persen dari seluruh jumlah penduduk Korea. Dan peningkatan per tahun, khususnya kenaikan 15 persen dari jumlah total 865.889 warga asing pada bulan Juli 2006, menunjukkan betapa cepatnya proses keberagaman masyarakat Korea,
terutama dalam hal ras dan budaya.
Ditinjau dari asal-usul negara, warga asing dari Cina mencakup 44 persen atau 441.334 jiwa
(266.764 di antaranya berasal dari etnis Korea), diikuti oleh warga asing dari Amerika Serikat sejumlah 12 persen atau 117.938 jiwa.
Jumlah warga asing dari Vietnam menempati posisi ketiga, yakni 6 persen atau 63.464 jiwa, diikuti oleh warga dari Filipina (5 persen atau 50.264 jiwa) dan warga Thailand (4 persen atau 43.792 jiwa). Sisanya adalah dari Jepang, Taiwan, dan Indonesia.
Di antara pemukim asing jangka panjang yang berjumlah 724.967 jiwa, kaum pekerja, termasuk mereka yang sedang menjalani pelatihan industri, meliputi 56 persen dari populasi penduduk asing, atau berjumlah 404.051 jiwa.
Mereka yang datang ke Korea melalui perkawinan berjumlah 14 persen atau 104.749 jiwa, sedangkan 7 persen atau 47.479 merupakan siswa asing yang belajar di Korea.


Sumber   :

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes